Kamis, 07 Februari 2019

Kenapa Harus Ragu dengan Ketetapan Allah?

Jadikan cintaku padaMu Ya Allah Berhenti di titik ketaatan
Meloncati rasa suka dan tak suka
Karena aku tahu, mentaatimu dalam hal yang tak kusukai
Adalah kepayahan, perjuangan, dan gelimang pahala
Karena seringkali ketidaksukaanku, hanyalah bagian dari ketidaktahuanku
- Salim A. Fillah -
Apakah kita termasuk orang yang sering mempertanyakan perintah Allah? Sering bertanya “Kenapa?” atas syariat Allah? Mungkin kisah-kisah di bawah ini akan mengembalikan kesadaran kita, bahwa iman melebihi segala nalar manusia, agar kita berucap, “Allah bersamaku. Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Masih ingatkah akan kisah Nuh yang diminta untuk membuat kapal? Bahkan Nuh saat itu tidak tahu alasannya membuat kapal. Ia hanya mengikuti perintah Tuhannya. Orang-orang menertawainya. Mencemoohnya. Gak ada angin, gak ada hujan, tiba-tiba bikin kapal. Coba deh bayangin tetangga lo tiba-tiba bikin kapal di depan rumahnya. Lo pasti mikir, kurang kerjaan amat. Tapi meskipun perintah Allah saat itu benar-benar di luar nalar, tanpa banyak tanya Nuh langsung melaksanakannya. Saat Allah memerintahkan agar umatnya masuk ke dalam kapal dan membawa serta binatang-binatang, tanpa ba bi bu, Nuh langsung melaksanakannya. Siapa sangka banjir besar itu datang? Siapa sangka hujan dari langit bisa menenggelamkan wilayahnya? Apa saat itu Nuh tahu bahwa akan terjadi banjir besar? Beliau mendengar perintah dan beliau taat.
Masih ingatkah pula akan kisah Nabi Ibrahim? Yang setelah sekian lama menunggu buah hati, saat buah hati itu lahir ke bumi, Allah memberikan perintah yang berat. Diantarnya Hajar dan anaknya ke lembah yang kosong dan tak berpenghuni. Betapa berat saat ia akhirnya berjalan meninggalkan kedua orang yang dicintainya itu.
“Mengapa kau meninggalkan kami, hai Ibrahim?” tanya istrinya, disusulnya suami yang baru beberapa langkah meninggalkannya.Ibrahim diam membisu, tak menjawab. Matanya berkaca, air matanya tertahan. Bagaimana mungkin ia bisa berbalik dan menatap istrinya? Terlalu berat, berbalik hanya akan meluruhkan keteguhannya.
“Mengapa kau meninggalkan kami, hai Ibrahim?”
Pertanyaan itu dilontarkan  lagi. Ibrahim tak kuasa menjawab. Hajar mengganti pertanyaannya.
“Apakah ini perintah Allah?”
Dengan nada berat, Ibrahim menjawab, “Ya.”
“Kalau memang perintah Allah, Dia sekali-kali tak akan menyia-nyiakan kami.”
Hajar ikhlas ditinggalkan suaminya. Meskipun kalau dipikir-pikir lagi mana ada wanita yang mau ditinggal di padang pasir sendirian dengan anak bayi, bekal makanan terbatas, suaminya meninggalkannya dan kembali dengan Sarah yang cantik jelita. Kalau Hajar tidak terima dengan perintah di luar nalar ini, mana mungkin akan ada air zamzam, sa’i antara bukit Safa dan Marwah. Tetapi Hajar menerimanya. Dia tidak banyak tanya. Kalau memang ini adalah perintah Allah, dia mentaatinya. Sungguh iman menguatkan saat nalar tak bisa mencerna segalanya. Mana tahu Hajar akan keluar air zamzam? Mana tahu Hajar kalau lari-larinya dari Bukit Safa ke Bukit Marwah akan menjadi rukun haji sampai sekarang? Apa yang dilakukannya lima ribu tahun lalu ternyata masih dilakukan jutaan bahkan miliaran manusia hingga sekarang. Hanya bermodalkan iman kepada Allah, bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakannya dan Ismail.
Termasuk saat Nabi Ibrahim diminta untuk menyembelih Ismail. Apakah Nabi Ibrahim tahu Ismail akan digantikan dengan biri-biri? Kalau memang perintah Allah, keluarga ini langsung mentaatinya. Masyaallah... semoga keluarga kita pun juga begitu. Karena kadang, pertanyaan-pertanyaan atas perintah Allah yang di luar nalar manusia, malah akan membuat kita semakin ragu. Naudzubillah..
Dan... satu lagi kisah saat Nabi Musa dikejar oleh bala tentara Fir’aun. Allah memintanya untuk memukulkan tongkat di tanah. Kalau dinalar, ngapain mukulin tongkat ke tanah? Mending tongkatnya dipukul ke kepalanya Fir’aun, lebih masuk akal. Tetapi ternyata memang di luar nalar manusia. Laut membelah. Menyelamatkan Nabi Musa dan umatnya. Menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya.
Dari kisah-kisah tadi, kadang ketetapan Allah, syariat Allah, perintah Allah, tak sesuai dengan nalar kita sebagai manusia. Seperti menutup aurat, berhijab, tidak berpacaran, tidak minum khamr, dan masih banyak lagi.
Allah meminta kita sebagai muslimah untuk menutup aurat, hanya menampakkan bagian wajah dan telapak tangan. Sahabiyah yang mendengar perintah tersebut langsung mengambil kain terdekat untuk menutup tubuh dan menutup kepala. Mereka tak banyak tanya. Mereka tak bertanya, “Kenapa, Ya Rasulullah? Kenapa Allah menyuruh kami menutup aurat?”
Sementara kita, masih saja banyak tanya. Masih saja ragu untuk menutup aurat. Masih saja takut dengan penilaian orang. Masih saja minder dengan kapasitas diri. Padahal kalau sudah perintah Allah, kenapa tidak kita laksanakan seperti nabi-nabi dan sahabat melaksanakannya? Tak banyak tanya meskipun hal-hal itu di luar nalar manusia. Mana mungkin sih perintah Allah itu menyesatkan kita? Mungkin bukan sekarang hikmah itu terungkap. Bisa jadi bertahun- tahun kemudian kita akan bersujud syukur karena Allah telah memberikan perintah itu. Bisa jadi di akhirat nanti Allah akan memberitahu kita alasanNya kenapa meminta kita untuk menutup aurat.
“...Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 216)
Lalu, perintah menjulurkan kerudungnya hingga menutupi dada? Bukankah itu sudah jelas? Apa yang kita ragukan?

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya),...” (Q.S. An-Nur: 31)
Pakai kaos kaki? Penting nggak sih? Seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangan. Kaki termasuk bagian muka dan telapak tangankah? Kenapa kadang kita masih beralasan untuk tak mengenakan kaos kaki?
“Aku masih ragu ukh kalau pakai kaos kaki. Lihat deh anak-anak pondokan, mereka nggak pake kaos kaki. Pasti mereka punya alasan kan kenapa nggak pake kaos kaki.”
“Guru ngajiku di rumah ukh, beliau liqo, tapi nggak pake kaos kaki.”
Maaf bukannya saya nge-judge kalau apa yang dilakukan orang-orang yang nggak pake kaos kaki itu salah, tetapi bukankah perintah Allah untuk menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan? Apakah kaki termasuk bagian muka dan telapak tangan? Ini perintah Allah untuk menutup kaki yang merupakan aurat.
Landasan kita adalah Al-Quran dan Sunnah. Ada seorang gadis yang menjadi korban perang pemikiran atas lingkungan sekitarnya. Karena gadis itu sering melihat lingkungan sekitarnya tidak memakai kerudung bahkan ibunya sendiri juga tidak berkerudung, dia tahu bahwa berkerudung itu wajib bagi setiap muslimah, tetapi karena tidak tahu dasarnya dan lingkungannya kebanyakan tidak memakai kerudung, akhirnya dia biasa saja mengumbar auratnya. Toh banyak orang yang tidak memakai kerudung namun memiliki akhlak baik, cerdas, dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Membuatnya berpikir bahwa tidak pakai kerudung tidak masalah asalkan kita baik. Termasuk urusan kaos kaki, karena lingkungan seorang gadis banyak terdiri dari penghafal Al-Quran, pelajar kitab, dan orang-orang baik yang tidak memakai kaos kaki, ia jadi bertanya-tanya soal kaos kaki itu wajib atau tidak? Sama saja menanyakan kaki itu aurat atau tidak? Sehingga karena melihat orang yang lebih baik darinya tidak memakai kaos kaki, dia jadi tidak ingin memakai kaos kaki. Padahal landasan kita adalah Al- Quran dan Sunnah. Bukan hal-hal yang dilakukan manusia. Kalau mau mencontoh akhlak, contohlah Rasulullah, yang tidak diragukan bahwa beliau adalah suri teladan yang baik. Jika ingin mencontoh akhlak manusia zaman sekarang, contohlah yang baik, tinggalkan yang meragukan dan yang buruk. Kembalilah kepada Al-Quran dan Sunnah.
Ada alasan ilmiah kenapa kita sebagai seorang wanita harus menutup aurat. Ada. Ada bukunya atau kalian bisa berdiskusi dengan teman-teman kalian. Hehe! Boleh tanya ke saya, tapi saya bukan ustadzah. Mau sharing di sini tapi agak vulgar heee~
Inti dari tulisan ini adalah ketika Allah sudah menetapkan sesuatu, kenapa kita mesti ragu dan beralasan? Padahal kita cukup melaksanakan. Insyaallah, Allah akan menunjukkan alasan kenapa Dia memintamu melaksanakan syariatnya.
Apa bedanya kita dengan para sahabat Rasulullah? Ketika ada wahyu turun, para sahabat langsung melaksanakannya tanpa tanya ini-itu tanpa berasalan ini-itu.
Laksanakanlah dengan ikhlas, meskipun berat, meskipun banyak cacian dan hinaan, meskipun dunia terasa sempit bagimu. Karena ketika kau melaksanakan syariatNya, yang kau dapatkan bukan hanya sekedar piring cantik, namun juga surga. ^^
Tulisan ini terinspirasi dari Jalan Cinta Para Pejuang – Salim A. Fillah, buku yang recommended sekali untuk dibaca.
Di jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan. Meloncati suka dan tak suka. Melampaui batas cinta dan benci. Karena hikmah sejati tak selalu terungkap di awal pagi. Karena seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat. Maka taat adalah prioritas yang kadang membuat perasaan-perasaan terkibas.
Tetapi yakinlah, di jalan cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita. Dan Dialah yang akan menyutradarai pentas kepahlawanan para aktor ketaatan. Dan semua akan berakhir seindah surga. Surga yang telah dijanjikannya.
-     Jalan Cinta Para Pejuang – Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar