Minggu, 08 Januari 2012

Winter in Semarang


Aku menyusuri sekitar Jalan Pemuda. Aku setengah berlari dan berputar mencari sosok yang ku cari. Melewati beribu serpihan salju. Menajamkan pandanganku dan menerawarang ke langit biru. Memang, beberapa menit yang lalu salju tak jatuh lagi. Digantikan sinar mentari yang remang-remang menemani. Aku masih mencarinya. Mencarinya. Belahan jiwaku.

Flashback

"Ven," panggil Ello. Orang yang telah mencuri hatiku sehingga aku mati dan tidak dapat mencintai orang lain.
"Apa??" aku menoleh. Aku melihat rambut hitam cepaknya terpantul sinar senja. Sekarang mataku tertuju padanya. Padahal dari tadi aku asyik nonton konser Ungu dari atap SMA Negeri 3 Semarang.
"Setahun lagi aku akan ke Spanyol," katanya.
Mataku membulat. "Hlo, Spanyol?!"
"Hum. Ini merupakan awal meraih mimpiku," jawabnya mantap. Tak tersirat keraguan di sinar matanya.
"Itu pasti?? Itu kan masih lama. Kalau jadwalnya berubah?" tanyaku penuh keraguan.
"Aku harap jadwalnya tidak berubah,"
"Berarti kita pisah jauh dong! Oleh-olehi pasta, ya! Ronaldo bawa ke Semarang aja.."
"Kau ini! Padahal kan aku ingin kau sedih," Ello mengobrak-abrik rambutku. Aku tak marah. Itu tanda dia sayang padaku.
"Benar, ya?! Ronaldo bawa pulang ke Semarang??" kataku manja.
"Halah. Ronaldo karo aku kan gantengan aku."
"Uh.. PDnya.. Jelas ganteng Ronaldo-lah.. Kamu tu cowok jelek yang telah mencuri hatiku."
Ya. Ello itu jelek. Jelek banget malah. Kulitnya sawo matang, rambutnya hitam cepak, dan matanya juga hitam. Sukanya pake pakaian hitam. Sama seperti sekarang ini. Ia memakai kaos hitam bergambar tengkorak dan celana pensil hitam. Tapi kok aku bisa suka ma dia, ya? Aneh. Tapi di mataku dia cowok terkeren.
"Hahaha..."
"Biasanya juga kita jauhan," kataku.
"Yo he'e..," ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Berapa hari di Spanyol??"
"Cuma empat tahun. Aku sekolah di sana. Mumpung dapat beasiswa."
Aku menyunggingkan senyum. Senyum senduku. "Lama."
"Haha!! So, winter ngko aku meh neng Spanyol. Dewe ketemuan ning Jalan Pemuda. Jam 2."
"He??" tanyaku tak mengerti.
Ia turun dari atap.
"Mau ke mana?" tanyaku.
"Ke bawah."
Aku tak mengubrisnya. Aku biarkan dia pergi. Aku malah nonton sunset dari atap. Ku kira kita akan bertemu lagi. Tak ku sangka ini pertemuan terakhirku.

End of Flashback


Aku masih berlari kecil. Salju-salju yang bergesekkan dengan kakiku memperlambat gerakanku. Aku masih ingat. Salju pertamaku ku alami bersamanya. Tepatnya dua tahun yang lalu. Saat itu aku tidak sengaja bertemu dengannya di Tugu Muda. Saat ku menatapnya dan dia menatapku. Udara di sekitarku berubah jadi dingin. Serpihan putih jatuh membasahi rambutku juga rambutnya. Sejak saat itu aku tahu perasaannya padaku. Ya. Dia mencintaiku. Meskipun kita tidak pacaran.

Aku berjalan bersamanya menuju sekolahnya-SMA Negeri 3 Semarang-. Dia mengukir namaku juga namanya di pohon depan sekolah. LOVE. ElLOVEni. Berharap cinta kita kan abadi dengan salju sebagai saksi.

Aku masih berlari. Sudah dua tahun yang lalu Semarang punya musim baru. Winter. Tapi pemerintah tak mau bergerak. Seperti sekarang. Tak ada bus yang menuju Jalan Pemuda. Jadi selama musim salju jarang ada orang berlalu lalang menggunakan motor atau mobil. Seperti sekarang aku harus berjalan dari Genuk ke Balaikota.

Paragon. Aku telah melewatinya. Paragon beda dengan setahun yang lalu. Selain dijadikan mall, Paragon juga dijadikan apartemen yang mempunyai 11 lantai. Bahkan gedung-gedung disebelahnya pun berubah. Semuanya berbau Eropa. Gedung pencakar langit terlihat di kanan kiri.

Aku terus berlari hingga sampai di SMA Negeri 5 Semarang. Aku ingat. Dulu aku benar-benar memimpikan bersekolah di sini. Aku pasti dekat dengan Ello. Tapi apa daya, aku menuruti keinginan orang tuaku dan bersekolah di SMK Negeri 7 Semarang. Sempat ada rasa menyesal. Tapi itu semua lenyap karna sekarang aku dapat beasiswa ke Negeri Sakura-Jepang-.

Tidak jauh dari SMA Negeri 5 Semarang adalah SMA Negeri 3 Semarang yang sekarang menjadi hotel bintang 5. Starhigh Hotel. Hotel itu begitu terang. Aku yakin di dalamnya menyimpan sejuta kehangatan.

Eh, tunggu! Di mana Ello? Kita kan janjian di Jalan Pemuda. Ello bodoh! Jalan Pemuda itu luas! Kenapa aku tidak punya email, nomor, facebook, atau twitter miliknya sih?! Bodoh. Kita itu pasangan yang aneh banget dah!

Tidak jauh dari pandanganku-tepatnya di sebelah Lawang Sewu-aku melihat bus bertuliskan Go to Spanyol dan buldozer pembersih salju. Apa? Apa dia di sana? Apa Ello di sana?? Aku berlari sekencang-kencangnya. Tak peduli keringatku bercampur dengan salju. Tak peduli lelah kakiku. Tak peduli kakiku yang mulai membeku.

"Ello," panggil Lila.
"Ada apa?"
"Busnya mau berangkat."
"Baiklah. Aku akan ke dalam."

Jarakku agak jauh. Tapi aku dengan jelas bisa lihat kalau itu Ello. Ia melangkah menuju bus. Apa? Dia akan pergi? Tanpaku? Tidak. Aku harus menemuinya. Aku memang teledor, bodoh, pelupa, sampai-sampai aku lupa kalau tidak ada bus di Jalan Pemuda. Bodoh. Aku bodoh. Kenapa Ello bisa menyukai orang bodoh sepertiku?? Dia pasti sudah menunggu dua jam. Padahal dua jam itu akan kami gunakan untuk kenangan paling manis. Tapi gagal. Semuanya gagal karnaku. Ello, tunggu!!

Aku melihatnya. Ia sudah naik ke bus. Ello, jangan pergi dulu! Setahun aku tidak bertemu denganmu. Apa kita tidak akan bertemu lagi selama empat tahun?

Tak terasa air mataku jatuh beriringan dengan butiran salju yang mulai turun. Aku takut, Ello. Aku takut kehilanganmu. Tunggu, Ello! Rasakan kalau aku mengejarmu.

Kenapa?? Kenapa kakiku terasa berat dan beku.

Buk

Aku terjatuh. Padahal tinggal sepuluh langkah menuju bis itu. Ello, bantu aku. Kakiku sakit. Aku dari tadi berjalan dari Genuk ke Lawang Sewu.. Huhu.. Apa? Yang bisa ku lakukan hanya menangis.

"Hei!! Kau itu! Kenapa tepar di sini?" tangan berselimut sarung tangan lembut mengobrak-abrik rambutku.
"Aku ingin Ello..," tangisku.
"Hm??"
Orang itu membantuku berdiri hingga aku bisa melihat wajahnya.
"Ello?"

Aku kaget. Wajahnya berubah. Ia jadi lebih putih-meskipun hanya sedikit- dan dia lebih tinggi dibanding aku.

"Cengeng kamu!" ejeknya. Dia langsung memelukku yang masih menangis.
Salju turun semakin deras tapi aku tak merasa dingin. Di sini-di pelukan Ello-terasa hangat. Aku seakan tak ingin melepasnya.
"Kau pulang naik apa?" tanyanya.
"Tidak tau."
"Ku panggilkan taksi, ya!"
"Aku tidak bawa uang karna buru-buru."
"Hah. Kan bisa dibayar di rumah. Yang penting kau pulang."
"Oh. Iya, ya! Tak kira meh mbok bayari."
"Kau itu! Kau pasti lupa janji kita, kan?"
Aku hanya mengangguk.
"Ku panggil kan taksi. Lalu pulanglah. Di luar sangat dingin."
"Maaf."
"Maaf. Aku tidak bisa memelukmu lebih lama lagi. 30 menita lagi pesawatnya landing."
"Terima kasih."
"Aishiteru," katanya.
Debar jantungku semakin cepat. Aku terlalu senang. Ello, terima kasih.
"Aishiteru yo!!"

Ello mempererat pelukannya. Erat. Sangat erat hingga aku sulit bernafas. Ia melepas pelukannya. Mengobrak-abrik rambutku seperti biasa. Dia menelepon taksi. Ya. Aku bodoh. Aku juga lupa bawa ponsel. Hah.. Bodoh.

Ello. Dia akhirnya pergi. Aku bahagia kalau dia bahagia. Good bye. Ganbatte, Ello! Semangat!

Salju menjadi saksi cintaku dan Ello. Karna itulah, I love winter. Meskipun dingin membekukanku, tapi cinta kan menghangatkanku.