“Dek, kalau di organisasimu, lebih ke
EO atau meningkatkan softskill?”
“Kalau yang di jurusan mbak, banyak
banget kegiatannya! Kegiatannya kecil-kecil rutin, agenda besarnya mungkin cuma
beberapa. Tetapi kalau di univ, jarang kegiatan, Mbak. Mungkin kegiatannya event
besar, setahun ada dua. Jadi kalo di univ, kita lebih punya banyak waktu untuk
melatih skill. Kalo di jurusan nggak sempet, Mbak, kegiatannya ngurusin
progja.”
Sekilas kutipan pembicaraan saya
dengan salah seorang adik tingkat. Kebetulan adik tingkat saya ini bukan anak
rohis. Ia bergabung di organisasi keilmiahan tingkat jurusan dan universitas.
Sebelumnya saya sudah ngobrol sedikit dengan adik tingkat yang memang berada di
organisasi rohis dan mendapatkan jawaban yang tidak jauh berbeda.
Kebanyakan, seseorang masuk ke sebuah
organisasi karena ingin meningkatkan skill mereka. Melihat kakak-kakak
tingkat yang keren, mahasiswa baru pun juga ingin menjadi keren seperti
katingnya. Namun ternyata, kadang yang didapat tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
Saya contohkan di organisasi rohis.
Mahasiswa mendaftar di organisasi rohis untuk mendapatkan sentuhan rohani, menjadi
lebih baik dari sebelumnya, dapat ilmu, dapat pengalaman, juga berharap bisa
berkumpul dengan orang-orang sholeh (biar ketularan sholehnya hehe). Tetapi
nyatanya, begitu diterima, mereka disibukkan dengan berbagai progja. Dan di
setiap syuro, yang datang orangnya itu-itu... saja. Yang datang kajian
juga itu-itu... saja. Yang menjauh semakin menjauh. Yang terlalu banyak
berjuang menjadi semakin lelah. Apakah ada yang salah dari organisasi ini?
Kadang, sibuk ngerjain progja sampai
lupa upgrade diri. Sibuk progja, lupa nanyain keadaan staff-staffnya.
Sibuk progja, sampai fungsionaris yang menjauh dibiarkan menjauh. Sibuk progja,
internal kondisi darurat.
Astaghfirullahaladzim...
“Ukh, apa perlu ya progjanya rohis
dipangkas besar-besaran?” tanyaku kala itu pada ukhti yang seangkatan denganku
ketika kita melewati pepohonan di samping gang tikus.
“Bukan progjanya ukh yang dipangkas,
tetapi bagaimana keberjalanan halaqah adik-adiknya? Jika tujuan mereka
masuk rohis agar mendapatkan ilmu, ya ilmunya itu didapatkan dari halaqah.”
“Astaghfirullah.. Halaqah-nya
beberapa masih tersendat, ukh. Masalah klasik, problem-nya ada di murabbi,
mutarabbi, bahkan dua-duanya.”
“Makanya itu.. kalau halaqahnya lancar
pasti semuanya juga lancar.”
“Iya, ya? Halaqah kan
fondasinya. Nggak halaqah aja rasanya kering.”
Buat yang satu ini, sebelum mencari
solusi yang lain dari segala problematika dakwah kampus, coba tilik lagi
bagaimana cara agar halaqah setiap fungsionaris berjalan. Jika setiap
fungsionaris rajin halaqah, lihat deh perkembangan rohisnya!
Cari mentor atau murabbi yang
benar-benar berkomitmen, yang benar-benar bisa mengayomi, jangan asal masukin
nama. Jika yang berkomitmen sanggup mengampu lebih dari satu halaqah,
berikan saja semampunya. Jika sampai kekurangan mentor, berarti ada yang salah
lagi dengan proses pengkaderannya.
Dan di awal kepengurusan ditekankan
kepada fungsionaris bahwa jika ingin mendapatkan ilmu seperti yang diinginkan
ketika mendaftar, berkomitmenlah untuk mengikuti halaqah. Karena kalau halaqah-nya
tidak berjalan, fungsionaris akan merasakan yang namanya kecewa, patah
semangat, sakit hati, nggak dapat ilmu, cuma ngerjain progja doang, tidak
merasakan manisnya ukhuwah, salah orientasi, merasa tidak dihargai,
tidak satu frekuensi, menjauh, bahkan bisa saja satu-persatu berjatuhan dari
jalan dakwah.
Yuk! Jadi anak rohis bukan buat jadi EO! Bersama-sama
beramal kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar