Senin, 28 Januari 2019

Ikut Rohis Cuma Buat Jadi EO?

“Dek, kalau di organisasimu, lebih ke EO atau meningkatkan softskill?”
“Kalau yang di jurusan mbak, banyak banget kegiatannya! Kegiatannya kecil-kecil rutin, agenda besarnya mungkin cuma beberapa. Tetapi kalau di univ, jarang kegiatan, Mbak. Mungkin kegiatannya event besar, setahun ada dua. Jadi kalo di univ, kita lebih punya banyak waktu untuk melatih skill. Kalo di jurusan nggak sempet, Mbak, kegiatannya ngurusin progja.”
Sekilas kutipan pembicaraan saya dengan salah seorang adik tingkat. Kebetulan adik tingkat saya ini bukan anak rohis. Ia bergabung di organisasi keilmiahan tingkat jurusan dan universitas. Sebelumnya saya sudah ngobrol sedikit dengan adik tingkat yang memang berada di organisasi rohis dan mendapatkan jawaban yang tidak jauh berbeda.
Kebanyakan, seseorang masuk ke sebuah organisasi karena ingin meningkatkan skill mereka. Melihat kakak-kakak tingkat yang keren, mahasiswa baru pun juga ingin menjadi keren seperti katingnya. Namun ternyata, kadang yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Saya contohkan di organisasi rohis. Mahasiswa mendaftar di organisasi rohis untuk mendapatkan sentuhan rohani, menjadi lebih baik dari sebelumnya, dapat ilmu, dapat pengalaman, juga berharap bisa berkumpul dengan orang-orang sholeh (biar ketularan sholehnya hehe). Tetapi nyatanya, begitu diterima, mereka disibukkan dengan berbagai progja. Dan di setiap syuro, yang datang orangnya itu-itu... saja. Yang datang kajian juga itu-itu... saja. Yang menjauh semakin menjauh. Yang terlalu banyak berjuang menjadi semakin lelah. Apakah ada yang salah dari organisasi ini?
Kadang, sibuk ngerjain progja sampai lupa upgrade diri. Sibuk progja, lupa nanyain keadaan staff-staffnya. Sibuk progja, sampai fungsionaris yang menjauh dibiarkan menjauh. Sibuk progja, internal kondisi darurat.
Astaghfirullahaladzim...
“Ukh, apa perlu ya progjanya rohis dipangkas besar-besaran?” tanyaku kala itu pada ukhti yang seangkatan denganku ketika kita melewati pepohonan di samping gang tikus.
“Bukan progjanya ukh yang dipangkas, tetapi bagaimana keberjalanan halaqah adik-adiknya? Jika tujuan mereka masuk rohis agar mendapatkan ilmu, ya ilmunya itu didapatkan dari halaqah.”
“Astaghfirullah.. Halaqah-nya beberapa masih tersendat, ukh. Masalah klasik, problem-nya ada di murabbi, mutarabbi, bahkan dua-duanya.”
“Makanya itu.. kalau halaqahnya lancar pasti semuanya juga lancar.”
“Iya, ya? Halaqah kan fondasinya. Nggak halaqah aja rasanya kering.”
Buat yang satu ini, sebelum mencari solusi yang lain dari segala problematika dakwah kampus, coba tilik lagi bagaimana cara agar halaqah setiap fungsionaris berjalan. Jika setiap fungsionaris rajin halaqah, lihat deh perkembangan rohisnya!
Cari mentor atau murabbi yang benar-benar berkomitmen, yang benar-benar bisa mengayomi, jangan asal masukin nama. Jika yang berkomitmen sanggup mengampu lebih dari satu halaqah, berikan saja semampunya. Jika sampai kekurangan mentor, berarti ada yang salah lagi dengan proses pengkaderannya.
Dan di awal kepengurusan ditekankan kepada fungsionaris bahwa jika ingin mendapatkan ilmu seperti yang diinginkan ketika mendaftar, berkomitmenlah untuk mengikuti halaqah. Karena kalau halaqah-nya tidak berjalan, fungsionaris akan merasakan yang namanya kecewa, patah semangat, sakit hati, nggak dapat ilmu, cuma ngerjain progja doang, tidak merasakan manisnya ukhuwah, salah orientasi, merasa tidak dihargai, tidak satu frekuensi, menjauh, bahkan bisa saja satu-persatu berjatuhan dari jalan dakwah.
Yuk! Jadi anak rohis bukan buat jadi EO! Bersama-sama beramal kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar