Apa kamu kenyang hidup dalam penilaian
orang? Apa kamu merasa nyaman karena orang-orang menganggapmu baik dan alim?
Dan ketika kamu melakukan kesalahan atau hal-hal yang menyebabkan mereka
berprasangka buruk, kamu jadi takut mereka mengecapmu tidak baik?
Aku pernah merasakannya. Hidup dalam
penilaian orang itu tidak menyenangkan. Kau hanya akan dihantui oleh perasaan
ingin dianggap baik. Kau hanya akan memikirkan bagaimana kau akan dianggap baik
di mata mereka. Tindakanmu selalu berorientasi agar orang-orang mengecapmu
baik. Tidak menyenangkan, bukan?
Aku pernah merasakannya. Hidup dalam
penilaian orang. Sebut saja aku memiliki tiga organisasi. Di organisasi A, aku
termasuk orang yang aktif, punya posisi penting, setiap kali ada rapat aku bisa
hadir. Organisasi B, posisiku sebenarnya hanya staff, tetapi aku aktif,
dan sering datang rapat. Sedangkan di organisasi C, aku hanya staff,
sering tidak datang rapat karena memang ada keperluan (kebetulan jadwal
rapatnya selalu berbenturan dengan agendaku), dan aku newbie di situ,
mau aktif susah karena aku tidak paham apa yang bisa aku lakukan, mau
tanya-tanya tidak enak karena aku dari awal memang tidak aktif (Padahal
temen-temen biasa aja kalo aku tanya).
Aku peduli dengan ketiga organisasi
itu. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk ketiganya. Tetapi nyatanya nggak
bisa. Aku ingin memberikan ketiga organisasi itu porsi yang sama. Aku takut
dicap tidak adil karena lebih mementingkan organisasi A dan B sedangkan
organisasi C aku telantarkan. Aku takut dianggap tidak amanah lagi. Aku takut
dianggap berkontribusi karena posisi, begitu mendapatkan posisi yang tidak begitu
urgent, langsung ambil sikap tidak peduli. Aku takut jika malah di
organisasi C aku tidak memberikan kontribusi, malah jadi beban buat
teman-teman.
Sampai di sebuah titik, aku sadar, aku
terlalu memikirkan penilaian orang lain tentang diriku. Aku terlalu takut
dianggap tidak baik atau pun tidak layak. Aku takut ukhuwah yang
dijalani selama ini malah jadi koyak karena aku tidak loyal, jarang ikut rapat,
lebih memilih organisasi lain. Padahal teman-teman tidak ada yang tahu apa yang
kujalani sehari-hari. Teman-teman tidak tahu seberapa besar effort-ku
untuk mengemban amanah ini.
Ketika kita diamanahkan sesuatu, bukan
berarti kita mampu mengemban amanah tersebut. Bukan berarti pula kita yang
terbaik di sekian banyak manusia baik. Bukan, bukan itu. Tetapi amanah
mengajarkan kita untuk belajar lebih jauh. Aku tidak merutuki karena telah
mendaftar di organisasi C. Ketika aku berpikir bahwa aku tidak mampu mengemban
amanah itu, otakku langsung memproses, “Apa
yang bisa kupelajari?”. Di organisasi manapun, aku ditempatkan di posisi
itu bukan karena aku hebat, punya skill, maupun rajin liqo.
Tetapi karena kakak-kakak ingin aku belajar lebih jauh dan hasil belajarnya
bisa ku-estafetkan ke adik-adik.
Dan untuk ketiga organisasiku itu, aku
memang tidak bisa memberikan porsi yang sama. Meskipun porsinya tidak sama, aku
akan tetap berusaha sebaik mungkin mengemban amanah ini, berusaha sebanyak
mungkin bisa berkontribusi! Semangaaat... Maaf ya buat teman-teman yang merasa
aku menghilang maupun menjauh... Maaf udah bikin kalian kecewa...
Bukankah kita ini merdeka? Merdeka
dari penilaian orang terhadap kita. Merdeka menjadi diri kita sendiri. Merdeka
meskipun kita banyak kurangnya. Merdeka! Merdeka!
Aku hidup bukan
untuk terkungkung dalam penilaian orang. Terserah orang mau mikir apa, aku akan
tetap bekerja keras semampuku. Aku melakukan semua ini bukan untuk disukai
orang-orang. Aku melakukan semua ini bukan buat pujian. Aku melakukan semua ini
karena Allah, aku mau dicintai Allah. Aku melakukan semua ini bukan “Biar kalian
nggak kecewa”, ‘Biar kalian seneng”, “Biar aku diterima”, “Biar kalian percaya
sama aku”. Bukan, bukan itu. Toh jika
ternyata amanah ini dilimpahkan ke orang yang lebih baik dari aku, aku sudah
siap. Aku tak mau jika harus melakukan segala upaya hanya untuk mendapatkan
sebuah amanah. Tetapi biarlah amanah itu datang sendiri, kepada diriku yang apa
adanya. Dan kalau amanah itu datang, takkan kutolak. Karena amanah itu datang
bersama penerimaan akan diriku yang apa adanya.
“Mulai fokus terhadap penilaian orang lain terhadap
diri kita adalah salah satu gejala futur.” (Mas Yonif, Kajian Selasa Sore SKI-Familia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar