Malam bertambah larut. Orang-orang yang berlalu lalang merapatkan
jaketnya. Langkah mereka cepat seolah ingin segera sampai di rumah
tercinta dan meminum cokelat hangat untuk menghangatkan tubuh yang
diserang salju. Tetapi tidak bagi perempuan bernama Filia. Langkahnya
tetap berpijak pada salju yang sama. Berkali-kali ia melihat seluruh
pejalan kaki mencari sosok yang tidak ada. Di bawah pohon Sakura,
perempuan berambut panjang sepunggung ini gelisah dan gundah juga
harap-harap cemas sebab sosok yang ia cari belum ia temukan. Menara jam
menunjukkan pukul 10.32 pm yang artinya Filia telah menunggu 3 jam lebih
55 menit. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Padahal mereka
janji akan bertemu pukul 07.00 pm.Bahkan Filia juga sudah lebih dulu
datang. Tetapi mengapa orang yang memintanya datang tak kunjung tiba?
Bibirnya menggigil diikuti getaran tubuh mungilnya. Jika bukan karena
cinta, apa dia sanggup bertahan dalam dingin ini? Jawabannya 'tidak'.
Tidak mungkin ia rela menyakiti dirinya sendiri. Apa ini yang dinamakan
cinta? Benar-benar butuh pengorbanan.
"Apa sedang ada badai di kotanya? Shiro, cepat datang," guman Filia.
Nafasnya beradu cepat. Pandangannya kabur dan kakinya seakan tak mampu
menopang tubuh rampingnya.
Sudah empat bulan Jepang diguncang badai hebat. Filia dan Shiro
harus berpisah karena mereka harus mendekam di rumah masing-masing
menunggu hingga badai berhenti. Waku berhentinya badai yang sekitar satu
jam itu dimanfaatkan untuk membeli bahan makanan. Apalagi, Filia dan
Shiro tinggal di kota yang berbeda. Jadi, bagaimana mungkin mereka bisa
bertemu?
"Lima belas menit lagi badai datang..! Ayo berlindung..!" teriak
seorang polisi membuat seluruh pejalan kaki berhamburan menuju tempat
yang aman.
"Lima belas menit? Tidak mungkin. Shiro, di mana kau?" dengan wajah
khawatir Filia kembali mencari sosok Shiro. Dingin kembali menusuk
tulang rusuknya. "Shiro..," rintihan lirihnya kembali mengingatkannya
pada masa lalu. Saat-saat ia dan Shiro bertemu ketika badai melanda
kotanya. Filia yang tidak sengaja bertemu Shiro yang sedang mencari
tempat tinggal, menawarkan apartemen yang ditinggalinya. Di lantai 17,
tepatnya diantara kamar bernomor 157 dan 158, mereka selalu bertemu,
berbagi kasih, bercanda ria, lalu tumbuh benih-benih cinta diantara
mereka. Di tengah badai salju mereka dipertemukan. Dengan badai sebagai
saksi mereka mengucap janji setia. Dan apakah badai akan menjadi kisah
terakhir mereka?
Di balik bola mata hazel milik Filia, dilihatnya lelaki yang tengah
terengah-engah berlari menuju arahnya. Lelaki yang selama ini
ditunggunya-Shiro.
"Maaf, keretanya didelay. HPku juga tidak ada sinyal," kata Shiro
menyapu keringat semu.
"A-aku mencintaimu," sekuat tenaga Filia mengatakannya. Nadanya
lirih seoalah tenaganya telah habis diserap butiran salju.
Shiro mendekap erat tubuh Filia.
"Satu menit lagi badai datang. Harap segera berlindung..!" teriakan
polisi lagi-lagi terdengar.
"Aku tidak peduli. Mau badai datang dan meremukkan tulang-tulangku,
aku akan tetap mendekapmu dalam pelukanku. Aku tidak ingin kita berpisah
lagi. Aku mencintaimu," kata Shiro lirih.
Filia menutup matanya. Pelukan Shiro benar-benar hangat. Ya, hangat.
Menghangatkan hati tetapi ragapun tetap terasa beku. Badai datang
menghantam kedua insan ini. Dalam pelukan badai, seolah raga tak
mempunyai indra. Dalam pelukan badai, seakan kita akan bersatu
selamanya. Dalam dekapan badai juga kita dipertemukan dan dipisahkan.
Dan kita akan bertemu di alam yang berbeda.
The End
http://pustakainspirasiku.blogspot.com/2012/05/lomba-ff-mingguan-pustaka-inspirasi-ku.html?spref=fb&m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar